14. Yogyakarta

Sabtu, 22 Desember 2018

Saat ini hari telah berganti. Telah lewat pukul dua belas tengah malam. Beberapa menit yang lalu, kami baru saja melaksanakan sholat Isya qoshor dua raka'at dan Maghrib jama' qoshor dua rakaat. Aku melaksanakan ibadah di dalam kamar hotel, tentu bersama teman satu kamar.
Ya, setelah beberapa hari hanya tidur di bus, malam ini kami bisa tidur di hotel. Kali ini satu kamar diisi oleh empat orang, tidak bertiga seperti di Bandung. Teman satu kamarku saat ini adalah Adit, Qolbi dan Asyef. Di sini, kami menginap di hotel Pandanaran.

***

Jogjakarta, atau Jogja, atau Yogyakarta adalah provinsi istimewa di Indonesia. Karena gubernurnya bergelar Sultan Hamengkebuwono dan wakilnya bergelar Paku Alam. Tak ada pemilihan gubernur. Jabatan ini diwariskan turun temurun, karena wilayah ini merupakan wilayah kesultanan sejak sebelum Indonesia merdeka. Di situlah letak istimewanya.
Maka, nama Provinsi ini adalah DIY; Daerah Istimewa Yogyakarta atau dalam aksara Jawa disebut ꦝꦲꦺꦫꦃ​ꦆꦱ꧀ꦠꦶꦩꦺꦮ​ꦔꦪꦺꦴꦒꦾꦏꦂꦠ. (Silahkan dibaca sendiri, kwkwwk)

Yogyakarta dini hari, di-posting di Instagram

Saat ini Provinsi DIY dipimpin oleh Sri Sultan Hamengkebuwono X yang telah menjabat sebagai Gubernur sejak Oktober 1998. Nama asli Sultan adalah Bendoro Raden Mas Herjuno Darpito.
Sementara, rekan Sultan saat ini adalah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Paku Alam X, dengan nama asli RM Wijoseno Hario Bimo. Beliau mulai menjabat sebagai Wakil Gubernur DIY sejak Januari 2016, menggantikan ayahnya; Paku Alam IX.

Provinisi ini adalah tempat Mbahku lahir. Tepatnya di Kecamatan Wates, Kabupaten Kulon Progo. Kata Bapak, Mbah puluhan tahun lalu pergi merantau ke Palembang dengan modal ijazah Sekolah Rakyat (SR) dari Muhammadiyah tanpa tahu mau kerja apa.
"Pokoknya, orang zaman dulu pergi merantau dahulu. Urusan kerja dimana, itu nanti!"

Fyi, Mbah akhirnya bekerja di salah satu perusahaan minyak milik negara. Kilangnya terletak di dekat rumahku. Sangat dekat. Kamu pasti tahu perusahaan apa itu!

***

Karena waktu kami hanya tersisa sangat sedikit, rencana untuk tidur ditunda. Aku dan beberapa teman keluar dari hotel, menuju kawasan Malioboro. Mayoritas dari kami keluar saat itu.
Seteguk Dalgona coffee kemudian, kami telah sampai di sana. Jaraknya hanya empat kilometer dari hotel. Saat itu, kami memilih menggunakan taksi daring.

Rute dari hotel menuju kawasan Malioboro

Di luar dugaan, tengah dalu seperti ini, kawasan Malioboro masih sangat ramai. Banyak anak muda nongkrong, duduk-duduk melingkar (mungkin sedang Halaqoh, tapi aku rasa tak mungkin), berdiskusi, main gitar, dan sebagainya.
Itu dua tahun lalu. Namun hari ini, aku tidak yakin. Boleh jadi, selepas Maghrib, Malioboro telah sepi. Semua berubah karena Corona!

Pelataran Malioboro

Di sepanjang Malioboro, tak banyak yang kami lakukan. Hanya berjalan-jalan menyusuri kawasan ini. Kami menemukan penjual oleh-oleh berupa gantungan kunci. Ada yang seharga seribu rupiah, ada yang seribu lima ratus rupiah. Ada pula yang unik. Salah satu penjual ternyata orang Sumsel. Dia bilang, berasal dari Palembang.
Aku tanya, "Kamu Plembang dimano nyo kak? Aku di Plaju!"
Dia menjawab, "Aku dari Sekayu!"
Aku menjawab di dalam hati, "Sekayu itu bukan Plembang. Tapi di Kabupaten Musi Banyasin, Mang Cek!"

Tugu Jalan Malioboro


Selain itu, kami juga menjumpai penjual baju kaos. Aku membeli dengan harga dua puluh ribu rupiah. Dan terakhir, jangan lupa, tempat makan paling fenomenal di Yogyakarta; Angkringan.
Angkringan adalah tempat makan sederhana berupa gerobak, di sana menjual menu utama nasi kucing, dan berbagai lauk pauk berupa tusukan.

Nasi kucing bukanlah nasi dengan lauk daging kucing. Makanan ini adalah nasi dengan porsi yang kecil, sangat sedikit seperti makanan kucing. Itulah sebab namanya seperti itu. Sedangkan tusukan adalah makanan berbentuk sate, ada usus, kulit ayam, telur puyuh dan sebagainya. Di angkringan juga ada gorengan seperti tempe, tahu dan bakwan.
Jangan lupa, ada juga kopi joss. Kopi yang diberi arang di dalamnya. Aku tidak faham sih dimana nikmatnya minum kopi seperti itu. Eh, maksudku, seluruh kopi aku memang tidak suka meminumnya. Haha!

Qolbi, Aku dan Royhan sedang di angkringan.. Kira-kira apa yang sedang aku bincangkan dengan Qolbi, ya?

Ada satu hal lagi yang menarik. Di kawasan Malioboro, ternyata ada Pasar Beringharjo. Kata orang, pasar ini pusat penjualan batik di Yogyakarta.
Aku pertama kali mendengar tentang pasar ini dari novel Ketika Cinta Bertasbih, karya Kang Abik alias Ustadz Habiburrahman El Shirazi, Lc., Pg.D.
Aku kemudian bergumam, "Akhirnya, pasar yang ada di novel sudah bisa didatangi, walau tak bisa dimasukki."

Pasar Beringharjo

Kami terus berkeliling di kawasan ini, melihat satu persatu pedagang mulai bersiap tutup. Mereka hendak pulang ke rumah.
Dengan itu pula, kami bersiap kembali ke hotel. Waktu telah menunjukkan lewat pukul dua dini hari. Tidak baik begadang terlalu lama. Ada hak tubuh untuk istirahat yang harus ditunaikan. Ini lah foto kami terakhir, tepat di tugu Jalan Malioboro.

Royhan, Qolbi, Arif, Aku dan Aan. Dengan muka kelelahan menahan kantuk

Sekitar pukul 02.10 WIB, kami memesan taksi daring untuk kembali ke hotel.
Oh ya, sebelum itu, Qolbi membeli Gudeg untuk dimakannya. Kalau kamu belum tahu, Gudeg adalah makanan khas Yogyakarta. Silahkan cari sendiri di Google. Aku sedang malas menjelaskannya. Ehehehe...

Akhirnya, pukul 02.30 WIB kami telah tiba di hotel. Aku langsung menuju kasur untuk tidur. Sudah sangat lelah sekali.
Hasil berkeliling saat dini hari, kami terbangun sekitar pukul setengah enam pagi!
Ya, sudah telah hampir satu setengah jam dari adzan Shubuh (waktu Shubuh di sini pukul empat pagi). Sungguh betul-betul telat. Boleh jadi, setengah enam pagi telah masuk waktu syuruq (batas akhir waktu Shubuh) di Jogja.

Namun, tak apalah. Aku masih ingat satu kaidah yang didapat dari guru ngaji. Sholat Shubuh masih boleh dilaksanakan walaupun telat, ketika kita bangun kesiangan.
"Tapi, Antum jangan bangun kesiangan setiap hari, Akh!"

Share:

13 komentar

  1. Balasan
    1. Bener kak.. Kapan-kapan ke sana lagi, inshaa allah. Btw, thanks udah mampir

      Hapus
  2. Ah masa sih aku sudah tau kilang minyak yang di dekat rumah kak Dodo? Sempat mikir sih, tapi hasilnya nihil. Aku gak tau kak🤣

    Dulu pernah ke jogja, tapi belom sempat ke maliobori. Huh padahal pengen beut ke situ, pengen beli baju kaos murah hahaha

    BalasHapus
  3. Wkwk aku pun tak tau kilang minyak itu apa namanya.. rumah kak dodo aja gak tau wkwk. Eh bentar2 sepertinya aku ingat sesuatu.. tentang kilang minyak milik negara itu hehe

    BalasHapus
  4. di depan Pasar Bringharjo ada lumpia enak tapi bukanya hanya pagi hingga menjelang sore hari saat pasar tutup.

    BalasHapus
  5. Jadi gak sabar pen photo di tugu jalan itu.. Hampir semua yang KKl atau PKL, pasti kesanaa. Huff semoga kami juga kesana nanti. Aamiin

    BalasHapus
  6. Kopi Joss itu enak Do. Langsung melek tuh mata. Aii kau, sayang bae dak suko.

    BalasHapus
  7. Anak dan suamiku muter2in Pasar Beringharjo beli uang kono dua tahun lalu. Kangen terus ya sama Jogja. Ntar nunggu kondusif kepengen ke sana lagi. Kangen makan sate yang 10-15K, belanja di Hamzah Batik dll. Jajan2 dan jalan2 itu harus pokoknya hehehe :)

    BalasHapus
  8. "Sekayu itu bukan Plembang. Tapi di Kabupaten Musi Banyasin, Mang Cek!"

    Hahahaha ..., auto ngakak bacanya.
    Gimana siiih kok ya haringini masiiiih saja ...orang salah sebut nama lokasi.
    Kejadiannya jadi mirip dengan salah penyebutan lokasi candi Borobudur deeeh ������

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ouhhh
      (ノ*0*)ノ

      Kuterkejut muncul smiley di kometyar atas kok bentuknya anak taoge

      Hapus